MAKALAH
TEORI-TEORI PEMBELAJARAN ISLAM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Ulumul Hadits
Dosen Pengampu : Bapak Nawawi,
M.Ag
Oleh Kelompok 5
Ima Mariyama 109261
Iwan Abdul Anzis 109262
Khoiru Niswatin 109263
SEMESTER IV / JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI
(STAIP)
2011
TEORI-TEORI PEMBELAJARAN ISLAM
I.
PENDAHULUAN
II.
PERMASALAHAN
Berdasarkan pendahuluan diatas, maka permasalahan yang
hendak dibahas mengenai al-Hadits adalah:
1.
Bagaimanakah
ragam hadits menurut sumbernya?
2.
Bagaimanakah
ragam hadits menurut kualitasnya?
3.
Bagaimanakah
ragam hadits menurut kuantitasnya?
III.
PEMBAHASAN
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah
Al-Qur’an. Dengan demikian hadits menjadi penjelas dari apa-apa yang terkandung
dalam Al-Qur’an. Hadits sumber hukum Islam selain Al-Qur’an ini wajib diikuti
baik dalam bentuk perintah maupun larangan. Karena itu, sangat penting dan
mendasar mengetahui pembagian hadits berdasarkan sumbernya, kualitasnya dan
kuantitasnya.
1.
Bagaimanakah
ragam hadits menurut sumbernya?
Pembagian
hadits menurut sumbernya dibagi menjadi :
1)
HADIS
QUDSI
A. Pengertian Hadis Qudsi
Secara etimologi, kata al-qudsi adalah nisbah,
atau sesuatu yang dihubungkan, kepada al-quds, yang berarti “suci”. Dengan
demikian, al-hadits al-qudsi berarti hadits yang dihubungkan kepada dzat yang
quds, Yang Maha Suci, yaitu Allah swt.
Secara terminologi hadis qudsi adalah :
هومانقل اليناعن النبي صل الله عليه وسلم مع اسناده اياه
الى ربه عزوجل
Yaitu hadis yang diriwayatkan kepada kita dari Nabi
SAW yang disandarkan oleh beliau kepada Allah SWT.[1]
Atau:
كل حديث
يضيف فيه الرسول صل الله عليه وسلم قولا الى الله عزوجل.
Setiap hadis yang disandarkan Rasulullah SAW
perkataannya kepada Allah Azza wa Jalla
Definisi tersebut menjelaskan bahwa hadis Qudsi itu
adalah perkataan yang bersumber dari Rasulullah SAW, namun disandarkan beliau
kepada Allah SWT. Akan tetapi, meskipun itu perkataan atau firman Allah, hadis
Qudsi bukanlah al-Quran.
B. Perbedaan antara Hadis Qudsiy dan al-Quran
1)
Al-Quran
lafaz dan maknanya berasal dari Allah SWT. Sedangkan hadis Qudsi maknanya
berasal dari Allah SWT, sementara lafaznya dari Rasulullah SAW
2)
Al-Quran
hukum membacanya adalah ibadah, sedangkan hadis Qudsi membacanya tidak dihukumi
ibadah
3)
Periwayatan
dan keberadaan al-Quran disyaratkan harus mutawatir, sementra hadis Qudsi
periwayatannya tidak disyaratkan mutawatir
4)
Al-Quran
adalah mukjizat dan terpelihara dari terjadinya perubahan dan pertukaran serta
tidak boleh diriwayatkan secara makna. Sedangkan hadis Qudsi bukanlah mukjizat,
dan lafaz serta susunan kalimatnya bisa saja berubah, karena dimungkinkan untuk
diriwayatkan secara makna
5)
Al-Quran
dibaca di dalam shalat sedangkan hadis qudsi tidak.[2]
C. Perbedaan antara Hadis Qudsi dengan Hadis Nabawi
Berdasarkan pengertian dan criteria yang dimilki hadis
Qudsi, terdapat perbedaan antara hadis Qudsi dan hadis Nabawi, yaitu :
Bahwa Hadis Qudsi, nisbah atau pebangsaannya adalah
kepada Allah SWT, dan Rasulullah berfungsi sebagai yang menceritakan atau
meriwayatkannya dari Allah SWT. Oleh karena itu, dihubungkanlah hadis tersebut
dengan al-Quds (maka dinamai Hadis Qudsi), atau dengan al-Ila (maka dinamai
Hadis Ilahi)
Sedangkan Hadis Nabawi, nisbah atau pebangsaannya
adalah kepada Nabi SAW dan sekaligus peiwayatannya adalah dari beliau.
عن أبي
ذ ررضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم فيما روي عن الله تبا رك وتعا لى انه
قال : ياعبادي اني حرمت الظلم على نفسي و جعلته بينكم محرما فلا تظالموا.
Dari
Abi Dzar r.a, dari Nabi SAW menurut apa yang diriwaytkan beliau dari Allah SWT,
bahwasanya Dia berfirman ," wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku
mengharapkan berbuat aniyaya atas diri-Ku dan Aku jadikan kezaliman itu diantar
kamu sebagai perbuatan yang haram, maka oleh karena itu jangan lah kamu saling
berbuat aniaya.”
D. Lafadz-lafadz hadis Qudsi
Didalam meriwayatkan hadis Qudsi, ada dua lafaz yang
digunakan, yaitu :
قال
رسول الله صلي الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عز وجل.
Bersabda Rasulullah SAW menurut apa yang diriwayatkan
beliau dari Allah SWT
قال
الله تعالي , فيما رواه عنه رسول الله صلي الله عليه وسلم .
Berfirman Allah SWT menurut yang diriwayatkan dari padaNya oleh Rasulullah
SAW.
2)
Pengertian
Hadits Nabawi
Menurut istilah, pengertian hadis nabawi ialah apa
saja yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan,
persetujuan, maupun sifat. Dapat dikatakan, hadits yang lafal maupun maknanya
berasal dari Nabi Muhammad SAW sendiri.
1.
Pebedaan
antara Hadits Nabawi dengan Hadits Qudsi antara lain:
a.
Hadits
Nabawi dinisbahkan dan disampaikan oleh Nabi Muhammad. Adapun Hadits Qudsi
dinisbahkan kepada Allah. Nabi Muhammad hanya berstatus sebagai penyambung
lidah dari-Nya.
b.
Bentuk
Hadits Nabawi ada dua macam:
1)
Tauqifi,
yaitu hadits yang kandungannya diterima oleh Nabi Muhammad melalui wahyu,
kemudian beliau sampaikan kepada umatnya.
2)
Taufiqi,
yaitu hadits yang tercipta murni dari pemahaman Nabi Muhammad terhadap
al-Quran, atau dari perenungan dan ijtihad beliau. Adapun keseluruhan kandungan
Hadits Qudsi bersumber dari Allah. Bagian yang bersifat ijtihad ini diperkuat
oleh wahyu bila ia benar. Tetapi bila terdapat kesalahan di dalamnya maka
turunlah ayat yang membetulkannya. Contoh yang kedua ini dengan apa yang
terjadi mengenai urusan tawanan perang badar. Rasulullah Saw mengambil pendapat
Abu Bakar dengan menerima tebusan mereka. Maka turunlah wahyu yang mencela
tindakan nabi.
3)
HADIS
MARFU'
A.
Pengertian
Hadis Marfu'
Hadis Marfu' adalah :
مااضيف
الى النبي صلى الله عليه وسلم من قول او فعل اوتقريرأوصفة.
Segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perkataan , perbuatan, taqrir
(ketetapan) atau sifat.
Dari definisi di atas dapat difahami bahwa segala sesuatu yang disandarkan
kepada Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat beliau
disebut dengan hadis Marfu'. Orang yang menyandarkan itu boleh jadi Sahabat,
atau selain sahabat. Dengan demikian, sanad dari hadis Marfu' ini bisa
Muthasil, bisa pula Munqathi, Mursal, atau Mu'dhal dan Mu'allaq.
B.
Hukum
Hadis Marfu'
Hukum hadis Marfu' tergantung pada kwalitas dan bersambung atau tidaknya
sanad, sehingga dengan demikian memungkinkan suatu hadis Marfu' itu berstatus
shahi, hasan, atau dhaif.
4)
HADIS
MAUQUF
A.
Pengertian
Hadis Mauquf
Beberapa ulama hadis memberikan terminology hadis Mauquf sebagai berikut :
هوما
رواه عن الصحابي من قول له أو فعل أو تقرير , متصلا كان أو منقطعا.
Yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat dalam bentuk perkataan,
perbuatan, atau taqrir beliau, baik sanadnya muttashil atau munqathi.
ما أضيف
الى الصحا بي من قول أو فعل أو تقو ير.
Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat berupa perkataan, perbuatan, atupun
taqrir beliau.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu yang
diriwayatkan atau dihubungkan kepada seorang sahabat atau sejumlah sahabat baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir, disebut hadis mauquf, dan sanad hadis
mauquf tersebut boleh jadi muttashil atau munqathi.
Contoh
hadis mauquf :
قول
البخاري : قال علي بن أبي طا لب رضي الله عنه : حدثوا الناس بما يعر فون, أ تريدون
ان يكذب الله ورسوله.
Bukhari berkata, "Ali r.a berkata, bicaralah dengan manusia tentang
apa yang diketahui/difahaminya, apakah kamu ingin bahwa Allah dan Rasul-Nya
didustai."
قول
البخاري : وأم أنُِِِ عَباس وهوميمم.
Bukhari berkata, "dan Ibnu Abas telah menjadi imam dalam shlat
sedangkan dia bertayamum."
Para Fuqoha Khurasan menamai hadis mauquf dengan atsar, dan hadis marfu
dengan khabar. Namun para ahli hadis menamai keduanya dengan atsar. Karena
atsar pada dasarnya berarti riwayat atau sesuatu yang diriwayatkan.
5)
HADIS
MAQTHU'
A. Pengertian Hadis Maqthu'
Secara terminology hadis maqhtu’ adalah
وهو
الموقوف التابعي قولا له أوفعلا.
Yaitu sesuatau yang terhenti (sampai)pada Tabii baik
perkataan maupun perbuatan tabi'i tersebut.
ماأضيف
الى التابعي أو من دونه من قول أوفعل .
Sesuatu yang disandarkan kepada tabi'i atau generasi
yang datang sesudahnya berupa perkataan atau perbuatan.
Hadis Maqthu tidak sama dengan munqhati, karena maqthu
adalah sifat dari matan, yaitu berupa perkataan Tabi'in atau Tabi at-Tabi'in,
sementar munqathi adalah sifat dari sanad, yaitu terjadinya keterputusan sanad.
B. Contoh Hadis Maqthu'
قول
الحسن البصري في الصلاة خلف المبتدع : صل وعليه بد عته.
Perkataan Hasan Bashri mengenai shalat di belakang
ahli bid'ah" Sholatlah dan dia akan menanggung dosa atas perbuatan
bid'ahnya"
4.
Bagaimanakah
ragam hadits menurut kualitasnya?
Pembagian Hadits Berdasarkan Kualitas Sanad Dan
Matannya (Aspek Kualitas Hadist).
Kualitas hadist adalah taraf kepastian atau taraf
dugaan tentang benar palsunya hadist itu berasal dari Rasulullah SAW. Penentuan
kualitas hadist tergantung pada tiga hal yaitu: jumlah rawi, keadaan rawi, dan
keadaan matan. Klasifikasi hadist ditinjau dari aspek kualitas hadist, terbagi
kedalam tiga tingkatan:
1.
Hadist Sahih
2.
Hadist Hasan
3.
Hadist Dha’if
1.
Hadist
Sahih
a.
Definisi
hadist sahih
Menurut bahasa, sahih berarti sehat, bersih dari cacat,
sah, atau benar, sehingga hadist sahih menurut bahasa berarti hadist yang
bersih dari cacat, atau hadist yang benar berasal dari Rasulullah SAW.
Sedangkan batasan tentang hadist sahih yang diberikan oleh ulama yaitu: hadist
sahih adalah hadist yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak
menyalahi ayat (al-Qur’an), hadist mutawatir, atau ijmak dan sanadnya
bersambung serta para rawinya adil dan dhabith.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh hadist sahih
adalah sebagai berikut:
1. Bersambung
sanadnya
Bahwa setiap perawi memang menerima hadist secara
langsung dari perawi seatasnya sejak permulaan sanad sampai penghabisannya.
2.
Perawinya harus adil
Setiap perawinya haruslah memiliki sifat sebagai orang
Islam, baligh, berakal, tidak fasiq, dan tidak cacat muru’ahnya.
3.
Perawinya harus cermat
Setiap perawi haruslah sempurna kecermatannya, baik
dia cermat ingatannya atau cermat kitabnya.
4.
Tidak syadz
Hadisnya tidaklah merupakan hadist yang syadz. Syadz
artinya tidak cocoknya seorang perawi terpercaya terhadap seorang perawi yang
lebih terpercaya darinya.
5.
Tidak terkena
Hadistnya tidak terkena sebab-sebab sulit dan
tersembunyi yang dapat merusak kesahihan hadist, padahal kenyataan lahirnya
adalah selamat darinya.
Dari kelima syarat itu, apabila salah satu syarat
tidak terpenuhi atau rusak, maka hadist dalam keadaan demikian tidak dapat
disebut sebagai hadist sahih
Contoh
hadist sahih, yang artinya :
“Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Yusuf, yang berkata telah
mengkabarkan kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin Jabir bin
Muth’im, dari bapaknya, yang berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw membaca
surat At-Thur di waktu shalat maghrib” (HR. Bukhari, No 731)
Hadist
ini dikatakan sahih karena:
1.
Sanadnya sambung, sebab perawinya mendengar langsung dari gurunya.
2.
Perawinya adil dan cermat, sebab disebutkan Abdullah bin Yusuf adalah seorang
terpercaya dan cermat, Malik bin Anas adalah imam yang hafidz, Ibnu Syihab
az-Zuhri adalah ahli fiqh hafidz, Muhammad bin Jubair adalah orang terpercaya,
dan Jubair bin Muth’im adalah seorang sahabat.
3.
Hadistnya tidaklah satu illat pun.
b.
Pembagian
hadist sahih
Hadist
sahih dapat dibagi kepada dua bagian yaitu:
1. Hadist sahih li dzatih Adalah hadist yang memenuhi
secara lengkap syarat-syarat hadist sahih.
2. Hadist sahih li ghairih Adalah hadist dibawah
tingkatan sahih yang menjadi hadist sahih karena diperkuat oleh hadist-hadist
yang lain.
Selain
perincian tersebut, ada pula penentuan urutan tingkatan hadist sahih, adalah
hadist yang diriwayatkan oleh:
1.
Bukhari dan Muslim
2.
Bukhari sendiri
3.
Muslim sendiri
4.
Ulama yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim.
5.
Ulama yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari sendiri.
6.
Ulama yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Muslim sendiri.
7.
Ulama yang terpandang (mu’tabar)
c.
Kedudukan
hadist sahih
Hadist sahih sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi
kedudukannya dari hadist hasan dan dho’if, tetapi berada dibawah kedudukan
hadist mutawatir.
Semua ulama sepakat menerima hadist sahih sebagai
sumber ajaran Islam atau hujjah, dalam bidang hukum dan moral. Tetapi, sebagian
ulama menolak kehujjahan hadist sahih dalam bidang aqidah, sebagian lagi dapat
menerima, tetapi tidak mengkafirkan mereka yang menolak.
2.
Hadist
Hasan
a.
Definisi
hadist hasan
Hadist hasan, menurut bahasa berarti hadist yang baik.
Para ulama menjelaskan bahwa hadist hasan tidak mengandung illat dan tidak
mengandung kejanggalan. Kekurangan hadist hasan dari hadist sahih adalah pada
keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua syarat
hadist sahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).
Contoh hadist hasan, yang artinya :
Dari Abdullah bin Umar r.a. dari Nabi Saw bersabda:
"Sesungguhnya Allah SWT akan menerima taubat
seorang hamba selama nafasnya belum sampai di tenggorokan (sakratul
maut)". (Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan Tirmizi. Ia berkata:
hadits ini hasan.)
Hadist ini telah dikatakan oleh Turmudzi sendiri: “
hadits ini hasan ”
b.
Pembagian
hadist hasan
Hadist hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Hadist hasan li dzatih adalah hadist yang
keadaannya seperti tergambar dalam batasan hadist hasan di atas.
2. Hadist hasan li ghairih adalah hadist dibawah
derajat hadist hasan yang naik ke tingkatan hadist hasan karena ada hadist lain
yang mengikutinya.
c.
Kedudukan
hadist hasan
Para ulama sepakat memandang bahwa tingkatan hadist
hasan berada sedikit dibawah tingkatan hadist sahih, tetapi mereka berbeda
pendapat tentang kedudukannya sebagai sumber ajaran Islam atau sebagai hujjah.
Masyarakat ulama memperlakukan hadist hasan seperti hadist sahih. Mereka
menerima hadist hasan sebagai hujjah atau sumber ajaran Islam, baik dalam
bidang hukum, moral, maupun aqidah. Tetapi sebagian ulama menolak hadist hasan
sebagai hujjah dalam bidang hukum apalagi dalam bidang aqidah.
3.
Hadits
Dhoif
a.
Pengertian
Hadits Dho’if
Hadits dhoif adalah hadits mardud, yaitu hadits yang
ditolak atau tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan hukum.
Kata al-dhaif secara bahasa adalah lawan dari al-qawiy,
yang berarti “lemah”. Penertiannya menurut istilah Ulama Hadits adalah:
Hadits Dhaif adalah setiap hadits yang tidak sempurna
yang tidak terhimpun padanya keseluruhan sifat Qabul.
Atau, menurut sebagian besar ulama Hadits adalah:
Sedang menurut istilah, Ibnu Shalah memberikan
definisi :
ما لم يجمع
صفات الصحيح ولاصفات الحسن
Artinya:
“Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan
sifat-sifat hasan”.
Zinuddin
Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat yang seharusnnya
dihindarkan, menurut dia cukup :
ما لم يجمع
صفات الحسن
Artinya:
“yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”
Karena
sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah barang tentu tidak
memenuhi syarat-syarat hadits shahih.
Para ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :
الحديث
الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح ولا صفات الحديث
Artinya:
“hadits dha’if
adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak
menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian hadits
dha’if adalah hadits yang lemah, yakni para ulama masih memiliki dugaan yang
lemah, apakah hadits itu berasal dari Rasulullah atau bukan. Hadits dha’if itu
juga bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih tetapi juga tidak
memenuhi syarat-syarat hadits hasan.
b.
Pembagian
Hadits Dha’if
1.
Hadits
Dha’if karena Gugurnya Rawi
a.
Hadits
Mursal
Kata “Mursal” secara etimologi diambil dari kata
“irsal” yang berarti “Melepaskan”, adapun pengertian hadits mursal secara
terminology ialah hadits yang dimarfu’kan oleh tabi’in kepada Nabi Saw.
Artinya, seorang tabi’in secara langsung mengatakan, “bahwasanya Rasulullah Saw
bersabda…..”
Sebagai contoh, seperti hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Malik dalam kitab Al-Muwqaththa’, dari Zaid bin Aslam, dari Atha’ bin
Yasar, bahwasnya Rasulullah Saw bersabda:
ان سدة الحر من فيح جهنم
“sesungguhnya cuaca yang sangat panas itu bagian dari
uap neraka Jahannam”
b.
Hadits
Munqati
Hadits munqati menurut bahasa artinya terputus.
Menurut sebagian para ulama hadits, hadits munqati’ ialah hadits yang dimana
didalam sanadnya terdapat seseorang yang tidak disebutkan namanya oleh rawi,
misalnya perkataan seorang rawi, “dari seseorang laki-laki”. Sedang menurut
para ulama lain bahwa hadits muntaqi’ ialah hadits yang dalam sanadnya terdapat
seorang rawi yang gugur (tidak disebutkan) dari rawi-rawi sebelum sahabat, baik
dalam satu atau beberapa tempat, namun rawi yang gugur itu tetap satu dengan
syarat bukan pada permulaan sanad
c.
Hadits
Mudal
Hadits mudal menurut bahasa, berarti hadits yang sulit
dipahami. Para ulama member batasan hadits mudal adalah hadits yang gugur dua
orang rawinya atau lebih secara beriringan dalam sanadnya, contohnya: “telah
sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
للملةك
طعامه وكسوته بالمعروف (رواه مالك)
Artinya:
“Budak itu harus diberi makanan dan pakayan secara baik”. (HR. Malik)
d.
Hadits
Muallaq
Hadits muallaq menurut bahasa berarti hadits yang
tergantung. Dari segi istilah, hadits muallaq adalah hadits yang gugur satu
rawi atau lebih diawal sanad. Contoh: Bukhari berkata, kala Malik, dari
Zuhri,dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
لاتقاضلوابين
الأنبياء
Artinya:
Menurut kesimpulan diatas tadi dapat diambil
kesimpulan bahwa hadits dha’if karena gugurnya rawi artinya tidak adanya satu,
dua, atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada
permulaan, pertengahan, maupun diakhir sanad hadits ini terbagi menjadiempat,
yaitu: hadits mursal (melepaskan), hadits muqati’(terputus), hadits mudal (yang
sulit dipahami), dan hadits muallaq (tergantung).
2.
Hadits
Dha’if karna Cacat pada Rawi atau Matan
a.
Hadits
Maudu’
Hadits maudu’ ialah hadits yang bukan hadits
Rasulullah Saw tapi disandarkan kepada beliau oleh orang secara dusta dan
sengaja atau secara keliru tanpa sengaja, contoh:
لايدخل ولد
الزنا الجنة الي سبع ابتاء
Artinya: “Anak jin tidak masuk surga hingga tujuh turunan”.
b.
Hadits
Matruk atau Hadits Matruh
Hadits matruk ialah hadits yang diriwayatka oleh
seorang rawi, yang menurut penilayan seluruh ahli hadits terdapat catatang pribadinya
sebagai seorang rawi yang dha’if, contoh: hadits riwayat Amr bin Syamr, dari
Jabir Al-Ju’fi, dari Haris, dari Ali. Dalam hal ini Amr termasuk orang yang
haditsnya ditinggalkan.
c.
Hadis
Munkar
Hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi
yang dha’if yang berbeda dengan riwayat rawi yang tsigah (terpercaya). Contoh:
من اقام
الصلاة واتي الزكاة وحج وصام وقري الضيق ودخل الجنة.
Artinya:“barang siapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, melakukan haji,
berpuasa, dan menjamu tamu, maka dia masuk surga”.
d.
Hadits
Muallal
Muallal menurut istilah para ahli hadits ialah hadits
yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi, yang kondosif berakibat
cacatnya hadits itu, namun dari sisi lahirnya cacat tersebut tidak tampak.
Contoh:
قال
رسولوالله صلي الله عليه وسلم : البيعان بالخيار مالم يتفرفا
Artinya:“Rasulullah bersabda: penjual dan pembeli boleh berikhtiar, selama
mereka masih belum berpisah”
3.
Bagaimanakah
ragam hadits menurut kuantitasnya?
A. Pembagian Hadits Berdasarkan Jumlah Perawinya ( Aspek
Kuantitas Hadist )
Kuantitas hadist disini yaitu dari segi jumlah orang
yang meriwayatkan suatu hadist atau dari segi jumlah sanadnya.
Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadist secara garis
besar menjadi dua macam, yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad, disamping
pembagian lain yang diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu pembagian menjadi
tiga macam yaitu: hadist mutawatir, hadist masyhur (hadist mustafidh) dan
hadist ahad.
1.
Hadist
Mutawatir
a.
Pengertian
hadist mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang
berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain. Hadits
mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang dalam setiap
generasi, sejak generasi shahabat sampai generasi akhir (penulis kitab), orang
banyak tersebut layaknya mustahil untuk berbohong. Tentang seberapa banyak
orang yang dimaksud dalam setiap generasi belum terdapat sebuah ketentuan yang
jelas. Sebagian ulama hadits menyatakan bahwa jumlah itu tidak kurang dari dua
puluh perawi. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim. Sedangkan Ashabus
Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para
Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi. Sebagian ulama menetapkan
sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan
Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan
orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65). Ulama yang
lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan pernyataan Allah sebagai berikut :
“Wahai Nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang
mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadits mutawatir
adalah laporan dari orang-orang yang jumlahnya tidak ditentukan (la yusha
‘adaduhum) yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berbuat dusta mengingat
jumlah mereka yang besar (‘adalah) dan tempat tinggal mereka yang beragam.
Sedangkan menurut istilah para ulama telah memberikan
batasan yakni: hadist mutawatir adalah tentang suatu yang mahsus (yang dapat
ditangkap oleh panca indera), yang disampaikan oleh sejumlah besar rawi yang
menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk berdusta.
Suatu hadist baru dapat dikatakan hadist mutawatir,
bila hadist itu memenuhi tiga syarat, yaitu:
1.
Pertama:
Hadist yang diriwayatkan itu haruslah mengenai sesuatu dari Rasulullah SAW yang
dapat ditangkap oleh panca indera, seperti sikap dan perbuatannya yang dapat
dilihat dengan mata kepala atau sabdanya yang dapat didengar dengan telinga.
2.
Kedua:
Para rawi (orang-orang yang meriwayatkan hadist) itu haruslah mencapai jumlah
yang menurut kebiasaan (adat) mustahil mereka sepakat untuk berbohong. Tentang
beberapa jumlah minimal para rawi tersebut terdapat perbedaan pendapat dikalangan
para ulama, sebagian menetapkan dua belas orang rawi, sebagian yang lain
menetapkan dua puluh, empat puluh dan tujuh puluh orang rawi.
3.
Ketiga:
Jumlah rawi dalam setiap tingkatan tidak boleh kurang dari jumlah minimal
seperti yang ditetapkan pada syarat kedua.
b.
Pembagian
Hadist Mutawatir
Sebagian jumhur ulama menyebutkan Hadits Mutawatir ada
3 yaitu :
1.
Hadist
mutawatir lafdhi
Hadist mutawatir lafdhi adalah mutawatir dengan
susunan redaksi yang persis sama. Dengan demikian garis besar serta perincian
maknanya tentu sama pula, juga dipandang sebagai hadist mutawatir lafdhi,
hadist mutawatir dengan susunan sedikit berbeda, karena sebagian digunakan
kata-kata muradifnya (kata-kata yang berbeda tetapi jelas sama makna atau
maksudnya). Sehingga garis besar dan perincian makna hadist itu tetap sama.
Contoh hadist mutawatir lafdhi yang artinya:
“ Rasulullah SA W, bersabda: “Siapa yang sengaja
berdusta terhadapku, maka hendaklah dia menduduki tempat duduknya dalam neraka”
(Hadist Riwayat Bukhari). “
Hadist tersebut menurut keterangan Abu Bakar
al-Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh orang sahabat, bahkan menurut
keterangan ulama lain, ada enam puluh orang sahabat, Rasul yang meriwayatkan
hadist itu dengan redaksi yang sama.
2.
Hadist
Mutawatir maknawi
Hadist mutawatir maknawi adalah hadist mutawatir
dengan makna umum yang sama, walaupun berbeda redaksinya dan berbeda perincian
maknanya. Dengan kata lain, hadist-hadist yang banyak itu, kendati berbeda
redaksi dan perincian maknanya, menyatu kepada makna umum yang sama.
Jumlah hadist-hadist yang termasuk hadist mutawatir
maknawi jauh lebih banyak dari hadist-hadist yang termasuk hadist mutawatir
lafdhi.
Contoh hadist mutawatir maknawi yang artinya:
“ Rasulullah SAW pada waktu berdoa tidak mengangkat
kedua tangannya begitu tinggi sehingga terlihat kedua ketiaknya yang putih,
kecuali pada waktu berdoa memohon hujan (Hadist Riwayat Mutafaq’ Alaihi). ”
3.
Hadist
Mutawatir ‘amali
Hadist mutawatir ‘amali adalah hadist mutawatir yang
menyangkut perbuatan Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan
oleh orang banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan
oleh orang banyak pada generasi-generasi berikutnya.
Segala macam amal ibadah yang dipraktekkan secara sama
oleh umat Islam atau disepakati oleh para ulama, termasuk dalam kelompok hadist
mutawatir ‘amali. Seperti hadist mutawatir maknawi, jumlah hadist mutawatir
‘amali cukup banyak. Diantaranya, shalat janazah, shalat ‘ied, dan kadar zakat
harta.
c.
Kedudukan
Hadist Mutawatir
Seperti telah disinggung, hadist-hadist yang termasuk
kelompok hadist mutawatir adalah hadist-hadist yang pasti (qath’i atau maqth’u)
berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama menegaskan bahwa hadist mutawatir
membuahkan “ilmu qath’i” (pengetahuan yang pasti), yakni pengetahuan yang pasti
bahwa perkataan, perbuatan atau persetujuan berasal dari Rasulullah SAW. Para
ulama juga biasa menegaskan bahwa hadist mutawatir membuahkan “ilmu dharuri”
(pengetahuan yang sangat mendesak untuk diyakini atau dipastikan kebenarannya),
yakni pengetahuan yang tidak dapat tidak harus diterima bahwa perkataan,
perbuatan, atau persetujuan yang disampaikan oleh hadist itu benar-benar
perkataan, perbuatan, atau persetujuan Rasulullah SAW.
Taraf kepastian bahwa hadist mutawatir itu
sungguh-sungguh berasal dari Rasulullah SAW, adalah penuh dengan kata lain
kepastiannya itu mencapai seratus persen.
Oleh karena itu, kedudukan hadist mutawatir sebagai
sumber ajaran Islam tinggi sekali. Menolak hadist mutawatir sebagai sumber
ajaran Islam sama halnya dengan menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai
utusan Allah. Kedudukan hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih
tinggi dari kedudukan hadist ahad.
2.
Hadist
masyhur (hadist mustafidah)
Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar
atau yang sudah populer. Mustafidah menurut bahasa juga berarti yang telah
tersebar atau tersiar. Jadi menurut bahasa hadist masyhur dan hadist mustafidah
sama-sama berarti hadist yang sudah tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan
dalam pengertian bahasa para ulama juga memandang hadist masyhur dan hadist
mustafidah sama dalam pengartian istilah ilmu hadist yaitu: hadist yang
diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan beliau mencapai derajat
hadist mutawatir. Sedangkan batasan tersebut, jumlah rawi hadist masyhur
(hadist mustafidah) pada setiap tingkatan tidak kurang dari tiga orang, dan
bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu belum mencapai jumlah rawi hadist
mutawatir.
Contoh hadist masyhur (mustafidah) adalah hadist
berikut ini:
Yang artinya:“ Rasulullah SAW bersabda: “Seorang
Muslim adalah orang yang kaum Muslimin tidak mengganggu oleh lidah dan
tangannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) “
Hadist di atas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan
sahabat Nabi) sampai ke tingkat imam-imam yang membukukan hadist (dalam hal ini
adalah Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga
rawi dalam setiap tingkatan.
3.
Hadist
Ahad
a.
Pengertian
Hadist Ahad
Ahad (baca: aahaad) menurut bahasa adalah kata jamak
dari waahid atau ahad. Bila waahid atau ahad berarti satu, maka aahaad, sebagai
jamaknya, berarti satu-satu. Hadist ahad menurut bahasa berarti hadist
satu-satu. Sebagaimana halnya dengan pengertian hadist mutawatir, maka
pengertian hadist ahad, menurut bahasa terasa belum jelas. Oleh karena itu, ada
batasan yang diberikan oleh ulama batasan hadist ahad antara lain berbunyi:
hadist ahad adalah hadist yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadist
mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya,
tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadist dengan jumlah rawi
tersebut masuk dalam kelompok hadist mutawatir.
b.
Perbedaan
Hadist Ahad dengan Hadist Mutawatir
a.
Dari
segi jumlah rawi
Hadist mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang
jumlahnya begitu banyak pada setiap tingkatan, sehingga menurut adat kebiasaan,
mustahil (tidak mungkin) mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan hadist ahad
diriwayatkan oleh rawi atau dalam jumlah yang menurut adat kebiasaan masih
memungkinkan dia atau mereka sepakat untuk berdusta.
b.
Dari
segi pengetahuan yang dihasilkan
Hadist mutawatir menghasilkan ilmu qath’i (pengetahuan
yang pasti) atau ilmu dharuri (pengetahuan yang mendesak untuk diyakini) bahwa
hadist itu sungguh-sungguh dari Rasulullah, sehingga dapat dipastikan kebenarannya.
Sedangkan hadist ahad menghasilkan ilmu zhanni (pengetahuan yang bersifat
dugaan) bahwa hadist itu berasal dari Rasulullah SAW, sehingga kebenarannya
masih berupa dugaan pula.
c.
Dari
segi kedudukan
Hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam memiliki kedudukan
yang lebih tinggi dari hadist ahad. Sedangkan kedudukan hadist ahad sebagai
sumber ajaran Islam berada dibawah kedudukan hadist mutawatir.
d.
Dari
segi kebenaran keterangan matan
Dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadist
mutawatir mustahil bertentangan dengan keterangan ayat dalam al-Qur’an.
Sedangkan keterangan matan hadist ahad mungkin saja (tidak mustahil)
bertentangan dengan keterangan ayat al-Qur’an.
c.
Kedudukan
Hadist Ahad
Bila hadist mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah
SAW, maka tidak demikian hadist ahad. Hadist ahad tidak pasti berasal dari
Rasulullah SAW, tetapi diduga (zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau. Dengan
ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadist ahad mungkin benar berasal dari
Rasulullah SAW, dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau.
Karena hadist ahad itu tidak pasti (hgairu qath’i atau ghairu maqthu’),
tetapi diduga (zhanni atau mazhnun) berasal dari Rasulullah SAW, maka kedudukan
hadist ahad, sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah kedudukan hadist
mutawatir. Lain berarti bahwa bila suatu hadist, yang termasuk kelompok hadist
ahad, bertentangan isinya dengan hadist mutawatir, maka hadist tersebut harus
ditolak.
IV.
KESIMPULAN
1.
Ragam
Hadits menurut sumbernya ada 2 yaitu :
a.
Hadis
Qudsi adalah: perkataan yang bersumber dari Rasulullah SAW, namun disandarkan
beliau kepada Allah SWT.
b.
Hadis
Nabawi adalah sesuatu yang disandarkan kepada nabi baik berupa perkataan,
perbuatan atau ketetapan beliau.
-
Hadis
marfu’
-
Hadis
mauquf
-
Hadis
maqthu’.
2.
Ragam
Hadits menurut kualitasnya ada 3 yaitu:
a.
Hadits
Shohih adalah hadist yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak
menyalahi ayat (al-Qur’an), hadist mutawatir, atau ijmak dan sanadnya
bersambung serta para rawinya adil dan dhabith.
b.
Hadits
Hasan, menurut bahasa berarti hadist yang baik. Para ulama menjelaskan bahwa
hadist hasan tidak mengandung illat dan tidak mengandung kejanggalan.
c.
Hadits
Dho’if yaitu hadits yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat
hasan.
3.
Ragam
Hadits menurut kuantitasnya ada 3 yaitu:
a.
Hadits
Mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang dalam setiap
generasi, sejak generasi shahabat sampai generasi akhir (penulis kitab), orang
banyak tersebut layaknya mustahil untuk berbohong.
b.
Hadits
Masyhur yaitu hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan
beliau mencapai derajat hadist mutawatir.
c.
Hadits
Ahad adalah hadist yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadist
mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya.
DAFTAR PUSTAKA
Rahman
Fatchur, “Ikhtisar Mushathalahul Hadits”, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987
Yuslem
Nawir, “’Ulumul-Hadis”Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2003
www.google.com
